Iklan 3360 x 280
iklan tautan
Patriot NKRI - Sang Letnan cuek saja menerobos berondongan peluru tentara Belanda.
Banyak kisah menarik seputar Serangan Umum 1 Maret 1949. Salah satu yang lucu adalah kisah Letnan Komarudin. Jelang Serangan Umum, Komandan Wehrkreise III Yogyakarta Letnan Kolonel Soeharto sudah membagi pasukannya dengan cermat.
Soeharto ingin menunjukkan kekuatan TNI masih ada dan bisa melakukan penyerangan di Kota Yogyakarta pada siang hari. Ini penting untuk menepis propaganda yang menyebut TNI sudah bubar waktu Yogyakarta diserang tanggal 19 Desember 1948.
Baca juga: Kisah HEROIK Kiai Subchi: Sang LEGENDA Bambu Runcing, ULAMA Besar Rendah Hati, GURU Jenderal Soedirman
Semua persiapan dilakukan dengan sangat rahasia dan hati-hati. Seluruh pasukan sudah diberi tahu waktu penyerangan jam 06.00 WIB, 1 Maret 1949. Begitu sirine tanda jam malam berakhir, saat itulah tembakan dilepaskan.
Tiba-tiba tanggal 28 Februari 1949, begitu sirine berbunyi, tembakan gencar terdengar. Letnan Komarudin memimpin seksinya menyerang Belanda dari arah Selatan. Belanda pun balas menembak.
Baca Juga: Kisah PRAPTO BLACK, Sang PROVOST: Beramal Dengan GRATISKAN Soto Setiap Jumat...BEGINI ALASANNYA...!
Sehingga baku tembak antara pasukan TNI dan Belanda tak terhindarkan. Soal keberanian memang Letnan Komarudin ini tak ada tandingan. Kabarnya Letnan Komarudin tahan peluru, sehingga cuek saja maju menerobos berondongan peluru Belanda.
Salah lihat tanggal, serang Belanda
Celaka. Rupanya Letnan Komarudin salah tanggal. Dia mengira sudah tanggal 1 Maret, padahal baru tanggal 28 Februari.
"Pada waktu sirene akhir jam malam berbunyi tanggal 28 Februari 1949 pagi, kami dikejutkan oleh bunyi ledakan dan tembakan yang cukup gencar. Mana pula tidak terkejut, sebab telah saya tetapkan serangan itu akan kita lakukan pada tanggal 1 Maret, pagi, pada waktu sirene akhir jam malam. Ternyata Letnan Komarudin telah salah hitung," kata Soeharto dalam biografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang ditulis G Dwipayana dan Ramadhan KH
Soeharto pun segera mengirim utusan agar serangan itu segera dihentikan. Dia takut serangan Letnan Komarudin akan membuka rahasia Serangan Umum 1 Maret.
"Yang saya khawatirkan pada waktu itu ialah pembalasan tentara Belanda terhadap rakyat di kota. Mungkin sekali musuh kita akan mengadakan pembersihan dan lantas rakyat yang tidak berdosa ditembaki," kata Soeharto .
Untungnya hal itu tidak terjadi. Belanda malah lengah karena mengira serangan besar yang akan dilakukan TNI itu adalah serangan yang dilakukan Letnan Komarudin.
Aksi Sang Letnan Di Filmkan
Jika pernah menyaksikan film ” Janur Kuning”, tentunya anda tak akan asing dengan tokoh “pejuang selon” yang diperankan oleh aktor Amak Baldjun. Digambarkan dalam film tersebut, saat adegan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta, tanpa mengenal rasa takut tertembus peluru ia terus maju memburu serdadu-serdadu Belanda yang melakukan gerakan mundur seraya menembakan senjata-senjata mereka ke arah gerilyawan TNI berbaret hitam tersebut.
Baca Juga: Mantap Jiwa..! Dibentak KOPASKA, Kapal Tentara Laut Diraja Malaysia & Marine Police Langsung CIUT dan KABUR...!
Bahkan Jenderal Soedirman pun ingin tertawa mendengar kisah Letnan Komarudin. Salah satu adegan film itu menggambarkan Jenderal Soedirman menginspeksi pasukan. Di sana Soedirman melihat Letnan Komarudin.
Panglima Besar Jenderal Soedirman tengah menasehati Letnan Komaruddin saat baru turun gunung |
Soedirman memeluk Komarudin. Sementara bibir sang Letnan bergetar menahan tangis haru. "Tidak semua kesalahan berakibat buruk," kata Soedirman memeluk Komarudin yang berbaret hitam.
"Maaf pak saya salah menghitung hari," jawab Komaruddin terbata-bata.
"Tidak jangan terulang lagi setiap prajurit sejati selalu memegang teguh sumpahnya."
"Baik pak saya berjanji," balas Komarudin.
Sosok Letnan Komaruddin
Dalam sejarah Perang Kemerdekaan di Yogyakarta, sejatinya tokoh ini memang benar-benar ada. Namanya Letnan Komaruddin. Jabatannya komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan Mayor Sardjono (anak buah Letnan Kolonel Soeharto). Di kalangan anak buahnya, mantan prajurit PETA di Kalasan ini terkenal sebagai anti kogel/tahan peluru.
Begitu populisnya nama Komaruddin hingga di wilayah Sleman, ada sebuah masjid yang disemati namanya: Masjid Al Komaruddin.
Begitu populisnya nama Komaruddin hingga di wilayah Sleman, ada sebuah masjid yang disemati namanya: Masjid Al Komaruddin.
Baca Juga: Mengharukan...! Kisah WALI KOTA Paling JUJUR Se-Indonesia, Sampai BERHUTANG ke Anak Buah..
Sebelum bergabung dengan Soeharto, usai dari PETA, Komaruddin memang pernah bergabung dengan Lasykar Hizbullah setempat. Banyak kawan-kawannya mengenal Komaruddin sebagai sosok yang jenaka, selon, pemberani namun sedikit agak sentimentil jika disentuh sisi-sisi kemanusiannya.
Peleton yang dipimpin Letnan Komaruddin memang dikenal sangat berani dan sering mengacak-acak pertahanan militer Belanda di dalam kota Yogyakarta. Begitu disegani namanya hingga pihak intelijen militer Belanda (NEFIS) pernah menjadikannya buronan. Konon, penyerangan militer Belanda ke dukuh Plataran pada 24 Februari 1949 ( yang menimbulkan korban tewas beberapa kadet Akademi Militer Yogyakarta) adalah salah satunya dalam rangka mencari dirinya, yang memang saat itu ia sedang berada di dekat dukuh tersebut.
Dituduh terlibat DI/TII
Lantas bagaimana nasib Komaruddin seusai perang? Memang jarang sumber-sumber sejarah yang memberitakan keberadaannya pasca penyerahan kedaulatan. Kecuali satu sumber dalam buku ” Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya” oleh Daud Sinjal. Di situ dituliskan tentang tuduhan sebagian kalangan militer yang menyebut dia terlibat dalam gerakan DI/TII .
Menurut cucu dari Komaruddin, Priyanto (59), sangkaan itu muncul kala kompi Komaruddin (saat itu berpangkat kapten) pada tahun 1950-an, dikirim ke Malangbong, Garut untuk menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekar Maridjan Kartosoewirjo. Alih-alih berperang, di Garut Kompi Komaruddin malah kerap “ngopi bareng” dengan pasukan DI/TII. Rupanya Komaruddin merasa jengah berperang dengan para gerilyawan DI/TII yang sebagian merupakan rekannya saat aktif di Lasykar Hizbullah. Malah di antaranya ada juga yang pernah satu perguruan dengannya saat belajar agama dan kanuragaan.
” Akibatnya Mbah Komar dan pasukannya ditarik kembali ke Yogya dan sesampainya di markasnya langsung dipecat secara massal” ujar lelaki yang masih termasuk cucu dari Komaruddin tersebut.
Baca Juga: MANTAP JIWA...! Inilah Deretan Senjata-Senjata LEGENDARIS KOPASSUS. [Nomor 5 Sangat SPESIAL] Kamu Wajib Tahu...!
Namun, dalam bukunya itu, Daud Sinjal pun menuliskan ternyata setelah diselidiki tuduhan itu sama sekali tidak benar. Nama Kapten Komaruddin kemudian direhabilitasi. Namun sepertinya upaya rehabilitasi tak otomatis membuat karir ketentaraannya menanjak. Dikisahkan beberapa saat setelah ia mendapat rehabilitasi, secara resmi Komaruddin mundur dari ketentaraan.
Usai tidak aktif di ketentaraan, pada 1960-an, Komaruddin memilih dunia jalanan sebagai jalur hidupnya. Di Kotagede, namanya terkenal sekaligus disegani sebagai “preman berhati baik”. "Tempat tongkrongan favoritnya di samping pabrik susu SGM,” ujar Priyanto, yang di saat muda sempat mengaku kerap ngobrol dengan mantan petarung yang dalam kesehariannya doyan memakai topi koboy itu.
Sekitar tahun 1969,Komaruddin secara misterius tiba-tiba menghilang dari Kotagede. Soetojo alias Boyo (buaya), teman seperjuangannya waktu melawan Belanda, lantas mencarinya hingga ke Jakarta sekitar setahun kemudian. Di ibu kota itulah, Boyo menemukan Komaruddin di wilayah Cempaka Putih. Ia tinggal di sebuah gubuk kecil yang terletak di tengah-tengah rawa (tanah milik Kodam V Jaya?) dan menghidupi kesehariannya dengan bekerja sebagai seorang preman yang ditakuti di wilayah Pasar Senen.
Sejarawan Yogyakarta, Ki Herman Janutama menduga keberadaan Komaruddin di Jakarta atas sepengetahuan Presiden Soeharto, yang merupakan mantan komandannya di Yogyakarta. “Buktinya, saat tinggal di rawa yang terletak di Cempaka Putih itu, tiap bulan secara rutin ia kerap mendapatkan jatah beras bagian untuk tentara…” ujar lelaki yang kenal baik dengan sebagian keluarga Komaruddin itu.
Karena dibujuk terus oleh sahabatnya (Toyo Boyo), pada sekitar 1972, Komaruddin akhirnya kembali ke Kotagede. Tak lama sampai di kota tersebut, ia kemudian jatuh sakit hingga mengalami koma. Komar kemudian dirawat di Pusat Kesehatan Umat (PKU) milik Muhammadiyyah. Dokter Barid adalah nama salah seorang yang menanganinya.
” Waktu kami rame-rame menengok Mbah Komar, Dokter Barid mengeluhkan ia tak bisa menyuntik Mbah Komar karena kulitnya atos (keras) sekali,” kenang Priyanto sambil terkekeh.
Tahun 1973, Komaruddin akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir di PKU Kotagede. Jasadnya kemudian dikebumikan secara militer di Taman Kesuma Negara Semaki Yogyakarta.
Baca Juga:
Sumber: merdeka.com | arsipindonesia.com