. Ketika Ribuan PASUKAN MAUNG Turun Gunung Mengikuti Perintah Jenderal Besar Soedirman...! | JIWA PATRIOT

Ketika Ribuan PASUKAN MAUNG Turun Gunung Mengikuti Perintah Jenderal Besar Soedirman...!

Iklan 3360 x 280
iklan tautan



Jiwa Patriot - Para pasukan maung itu lantas bermunculan dari gunung dan hutan. Jumlahnya tidak main-main, ada sekitar 29.000 siap untuk turun gunung. Sorot mata mereka terlihat bersemangat dan kuat.

Perintah Kolonel AH. Nasoetion itu datang begitu tiba-tiba. Namun sebagai petugas intelijen Divisi Siliwangi, Letnan Muda Soedarja harus melaksanakan intruksi panglimanya tersebut: menjadi perwira penghubung dengan pihak militer Belanda dalam pelaksanaan mobilisasi terkait hasil Perjanjian Renville di Sumedang (Foto Cover: Maung atau Harimau yang merupakan simbolisasi Pasukan Siliwangi).
Baca Juga: KALAU TAK ADA LAGI YANG SANGGUP, SAYA SAJA YANG MASUK... Kisah DRAMATIS Sang KOMANDAN Marinir Mengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi dari LUBANG MAUT
Langkah pertama yang dilakukan oleh Soedarja adalah berkoordinasi dengan wakil  dari pihak militer Belanda. Berdasarkan kesepakatan dengan Letnan Kolonel JJ. Malta, perwira menengah dari Divisi 7 Desember , ia harus menyampaikan sepucuk surat kepada  Kapten Sentot Iskandardinata dari Batalyon 27. Isinya: perintah Kolonel AH. Nasoetion agar “para maung ” (artinya para harimau: julukan untuk para prajurit Divisi Siliwangi) turun gunung dan berangkat hijrah ke wilayah Jawa Tengah.

MENJELANG HIJRAH. Seorang perwira Divisi Siliwangi tengah berunding dengan seorang perwira militer Belanda dan seorang pengawas dari Prancis menjelang pemindahan pasukan TNI d iPerkebunan Ramawati, Sukabumi. 

Dampak Perjanjian Renville

Bersama Letnan Omon dan tiga serdadu Belanda, dengan menggunakan truk militer, pagi sekali Soedarja sudah berangkat ke hutan Rancakalong. Selama perjalanan, Soedarja sempat ketar-ketir. “ Bayangkan saja, saya harus pergi ke “gua harimau” bersama tentara Belanda, bisa-bisa sampai sana saya didorhos (ditembak) sama anak buah Pak Sentot,” kenang lelaki yang saat ini berusia 91 tahun itu seraya tertawa.

Untunglah, Letnan Omon dikenal baik oleh sebagian prajurit Yon 27. Setelah menerangkan maksud dan tujuan serta memperlihatkan surat perintah dari Kolonel AH. Nasoetion, mereka kemudian dihadapkan kepada Kapten Sentot. Komandan Batalyon 27 itu sempat mengernyitkan dahinya kala membaca surat perintah itu. Raut kekecewaan nampak memenuhi wajahnya. Namun setelah Soedarja memperlihatkan surat kabar yang memuat berita tentang tercapainya Perjanjian Renville, perwira yang tak lain adalah putera dari pahlawan nasional Otto Iskandardinata tersebut akhirnya hanya bisa mengangguk lemas.

Disiplin Tentara

“Pada mulanya tentu saja ia kecewa seperti juga halnya saya,” kenang mantan perwira dari Seksi I (Bagian Intelijen) Divisi Siliwangi tersebut. Sesungguhnya, kekecewaan bukan hanya milik Letnan Muda Soedarja dan Kapten Sentot saja. Seluruh prajurit Siliwangi merasakan hal yang sama. Namun bagi mereka, perintah adalah perintah. Betapapun beratnya hati mereka untuk menghentikan perlawanan dan turun gunung, tugas mereka sebagai tentara tak lebih hanya disiplin kepada  garis komando tertinggi sesuai pidato Panglima Besar Jenderal Soedirman saat itu: “…kepentingan negara harus di atas kepentingan sendiri…Tentara harus tetap memperlihatkan sikap disiplinnya!..”
Baca Juga: Kisah Gerilyawan VIETKONG Suguhi Nasi PECEL Untuk TNI Di Tengah Moncong Senjata Siap Tembak
Para Maung Bermunculan

Para maung lantas bermunculan dari gunung dan hutan. Roeqojah Noeraini (78) masih ingat, bagaimana  kondisi para prajurit muda itu. ”Pakaian mereka compang-camping, sebagian tanpa alas kaki dan badan mereka kurus-kurus karena kurang makan namun terlihat kuat dan bersemangat,” ujar penduduk Sumedang yang waktu itu masih berusia 11 tahun itu.

Pada 1 Februari 1948, sekitar 29.000 prajurit Siliwangi beserta keluarganya yang datang dari seluruh Jawa Barat (kecuali Banten)  dikumpulkan di Cirebon. Dari kota udang itu,  sebagian dari mereka lantas diangkut dengan kapal Belanda bernama Plancius  menuju Pelabuhan Rembang. Sebagian lagi diangkut  dengan kereta api untuk diturunkan di Stasiun Gombong lantas berjalan kaki atau menggunakan truk-truk militer Belanda ke daerah republik.

Dielu-elukan Rakyat

Sepanjang perjalanan menuju daerah republik, rakyat banyak mengelu-elukan anak-anak Siliwangi. Di daerah Cirebon (saat itu masuk dalam wilayah pendudukan Belanda), tak henti-hentinya orang-orang memekikan kata “merdeka” setiap melihat para maung berbaris menuju stasiun kereta api dan pelabuhan. “ Untuk menghentikan histeria rakyat tersebut, tentara Belanda yang mengawal para prajurit Siliwangi itu tak jarang menembakan senjatanya ke udara,” tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948.

BERSIAP HIJRAH. Para prajurit Siliwangi dan keluarga bersiap hijrah ke Jawa Tengah
Seorang mantan petarung Siliwangi asal Ciamis, Kopral (Purn) Soehanda (90) berkisah bahwa tak jarang sambil melakukan pengawalan, para prajurit Belanda dari kesatuan baret hijau (DST; pasukan khusus KNIL) dan dari Yonif V Andjing NICA secara provokatif menyanyikan lagu-lagu berbahasa Belanda yang isinya menghina kaum gerilyawan. Teriakan bernada mengejek:  tot ziens lui (sampai jumpa lagi, kawan-kawan) kerap membuat telinga anak-anak Siliwangi sempat memerah. ” Tapi kami tak peduli. Kami tetap berbaris menuju Jawa Tengah dengan kepala tegak ,”kenang Soehanda.
Baca Juga: [Video] Jadi JAWARA Tak Terkalahkan, Prajurit Kopassus Ini Malah Bingung...!
Tetapi dunia tidaklah hitam putih. Selain yang arogan, ternyata ada juga para prajurit Belanda yang sikapnya bersahabat. Alih-alih bersikap sebagai musuh, mereka malah menyambut kedatangan para gerilyawan dengan tawa dan salam laiknya kawan lama. Seorang petarung Siliwangi bernama Soempena (92) bercerita, saat di Gombong, para anak muda Belanda itu cepat sekali berbaur dengan rekan-rekan mudanya di TNI. Mereka saling bertukar cerita.

TURUN GUNUNG. Para prajurit Siliwangi turun gunung untuk melakukan hijrah ke Jawa Tengah
”Ada seorang tentara Belanda, saya masih ingat namanya Janssen bilang kepada saya waktu itu bahwa sesungguhnya mereka tidak ingin berperang dengan kami. Tapi sebagai prajurit, mereka tidak memiliki pilihan. Ya kami juga begitu…” ujar lelaki sepuh yang kini tinggal di Purwakarta tersebut.

Lauk Ikan Asin

Setelah sampai di daerah republik, rombongan pasukan lantas ditempatkan di asrama-asrama yang kondisinya sangat tidak layak untuk ditempati. Selain kotor dan berantakan, tak jarang asrama-asrama itu tak memiliki fasilitas untuk tinggal seperti lemari dan tempat tidur. Hingga untuk beristirahat pun Letnan (Purn) Alleh ingat, mereka hanya ngampar samak (menggelar tikar) dan berbantalkan ransel. “ Soal kesehatan dan makanan, jangan tanya. Waktu itu kami paling mewah hanya makan nasi dengan lauk pauk sayur kangkung dan ikan asin,” kenangnya.

Baca Juga:


Sumber: arsipindonesia.com
iklan 336 x 280